Saudaraku … Sudahkah kita berbakti kepada orang tua dengan benar? Mungkin kita katakan diri kita telah berbakti. Ternyata masih amat jauh dari dikatakan berbakti. Risalah ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah dalam kitab beliau yang sangat bermanfaat “Fiqh At Ta’amul Ma’al Walidain“. Semoga bermanfaat.
Pertama: Menghormati keduanya dengan tidak memandang keduanya dengan pandangan yang tajam dan tidak meninggikan suara di hadapan mereka
Dalam Shohih Bukhari no. 2731, 2732, dari Miswar bin Makhromah dan Marwan …, di dalamnya disebutkan bahwa jika para shahabat berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil merendahkan suara dan mereka tidak memandang tajam kepadanya.
Inilah yang dilakukan oleh para shahabat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka hormati seperti orang tua mereka. Sehingga beradab kepada kedua orang tua dimisalkan dengan cara seperti ini pula.
Kedua: Tidak mendahulukan untuk berbicara kepada kedua orang tua
Adab ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كُنَّا عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَأُتِىَ بِجُمَّارٍ فَقَالَ « إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً مَثَلُهَا كَمَثَلِ الْمُسْلِمِ » . فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِىَ النَّخْلَةُ ، فَإِذَا أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ فَسَكَتُّ ، قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « هِىَ النَّخْلَةُ »
“Dulu kami berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah bagian dalam pohon kurma. Lalu beliau mengatakan, “Sesungguhnya di antara pohon adalah pohon yang menjadi permisalan bagi seorang muslim.” Aku (Ibnu ‘Umar) sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma. Namun, karena masih kecil, aku lantas diam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah pohon kurma.” (HR. Bukhari no. 72 dan Muslim no. 2811)
Inilah sikap shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Di mana beliau tidak mau mendahulukan pembicaraan jika ada yang lebih tua umurnya di hadapannya. Padahal sebenarnya Ibnu ‘Umar mampu menjawab ketika itu. Dari sini, tidak ragu lagi, demikian pula seharusnya beradab di hadapan orang tua.
Ketiga: Tidak duduk di hadapan kedua orang tua yang sedang berdiri
Larangan ini dapat dilihat dalam hadits dari Jabir. Beliau mengatakan,
اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا فَصَلَّيْنَا بِصَلاَتِهِ قُعُودًا فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ « إِنْ كِدْتُمْ آنِفًِا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ فَلاَ تَفْعَلُوا ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau, sedang beliau shalat sambil duduk dan Abu Bakar mengeraskan bacaan takbirnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada kami. Beliau melihat kami shalat sambil berdiri. Lalu beliau berisyarat, kemudian kami shalat sambil duduk. Tatkala salam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Jika kalian baru saja bermaksud buruk, tentu kalian melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Persia dan Romawi. Mereka selalu berdiri untuk memuliakan raja-raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk. Ikutilah imam-iman kalian. Jika imam tersebut shalat sambil berdiri, maka shalatlah kalian sambil berdiri. Dan jika imam tersebut shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk’.” (HR. Muslim no. 413)
Syaikh Mushtofa Al ‘Adawy mengatakan, “Dalam hadits ini disebutkan mengenai hukum shalat sambil berdiri sedangkan imam shalat sambil duduk dan perinciannya bukan di sini tempatnya. Namun, dapat diambil pelajaran bahwa kita dilarang duduk ketika orang tua kita berdiri di hadapan kita. Maka adab ini tetap bisa diambil sebagai pelajaran dari hadits ini.”
Keempat: Tidak mendahulukan dirinya sendiri sebelum kedua orang tua
Hal ini dapat dilihat dalam kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan tidak bisa keluar. Salah seorang di antara mereka bertawasul dengan amalan berbakti kepada kedua orang tuanya. Yaitu dia selalu memberikan susu kepada kedua orang tuanya sebelum memberikan kepada anak-anaknya bahkan dia bersabar menunggu untuk memberikan susu tersebut kepada orang tuanya sampai terbit fajar. (HR. Bukhari no. 5974 dan Muslim no. 2743)
Kelima: Meminta maaf kepada kedua orang tua
Seyogyanya seorang anak meminta maaf atas kesalahan dirinya kepada kedua orang tuanya karena setiap orang yang berbakti kepada kedua orang tua belum tentu bisa menunaikan seluruh hak mereka. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman,
كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ
“Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (QS. ‘Abasa [80] : 23). Maksudnya adalah manusia tidaklah dapat melaksanakan seluruh perintah Rabbnya.
Lihatlah saudara-saudara Yusuf, mereka meminta maaf untuk diri mereka kepada orang tuanya karena kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka berkata,
يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ
“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)“. (QS. Yusuf [12] : 97)
Keenam: Janganlah seorang anak membalas orang tua yang mencelanya
Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.” (QS. Al Isro’ [17] : 23)
Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah engkau memperdengarkan pada keduanya kata-kata yang buruk. Bahkan jangan pula mendengarkan kepada mereka kata ‘uf’ (menggerutu) padahal kata tersebut adalah sepaling rendah dari kata-kata yang jelek.”
Lihatlah kisah Bilal bin Abdullah bin ‘Umar dengan ayahnya berikut.
Dalam Shohih Muslim no. 442 dari jalan Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian, maka izinkanlah mereka.”
Kemudian Bilal bin Abdullah bin ‘Umar mengatakan,
وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
“Demi Allah, sungguh kami akan menghalangi mereka.”
Lalu Abdullah bin ‘Umar mencaci Bilal dengan cacian yang jelek yang aku belum pernah mendengar sama sekali cacian seperti itu dari beliau. Kemudian Ibnu Umar mengatakan, “Aku mengabarkan padamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau katakan ‘Demi Allah, kami akan mengahalangi mereka!!’
Lihatlah bagaimana Bilal sama sekali tidak membalas cacian ayahnya. Semoga kita bisa meneladani hal ini.
Ketujuh: Seorang anak harus betul-betul menginginkan kebaikan pada orang tuanya
Anak yang sholih haruslah selalu mengharapkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Walaupun kedua orang tuanya tersebut adalah kafir, anak sholih hendaklah selalu berharap orang tuanya mendapatkan hidayah dan terlepas dari adzab. Hendaklah dia selalu menasehati dan memberi peringatan kepada orang tuanya sampai dia meninggal dunia.
Lihatlah kekasih Allah yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau tidak henti-hentinya menasehati orang tuanya dengan perkataan yang lembut. Dia mencoba menasehati ayahnya dengan panggilan lembut yang dikenal oleh orang Arab yaitu ‘Yaa Abati’. Perhatikanlah kisah beliau dalam ayat berikut ini,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45)
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quraan) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”.” (QS. Maryam [19] : 41-45)
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam juga meminta ampunan Allah kepada orang tuanya setelah kematiannya. Namun, hal ini telah dilarang oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At Taubah [9] : 114)
-bersambung insya Allah-
Diselesaikan di Pondok Sahabat Pogung Kidul, 15 Rabi’uts Tsani 1429 (21-04-08)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com